D
|
i pinggir sungai Cibudug yang mengalir di
samping markas
Kodim 0617 Majalengka yang terletak di Kelurahan Tonjong,
Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, kita dapat melihat adanya lubang-lubang yang sebenarnya itu adalah bunker. Keberadaan bunker itu juga merupakan bukti sebagai salah
satu
tempat yang menyimpan sejarah di
kota
Majalengka.
Dalam buku Selayang Pandang Sejarah Majalengka yang
disusun pada tahun 1980 disebutkan salah satu alasan dan tahun dimulainya
pembangunan tangsi marsose Belanda yang kini menjadi Kodim Tonjong. Kutipan
pada buku tersebut menuliskan,”Pada tahun 1923
dibangun tangsi marsose Belanda untuk menghadapi pergerakan rakyat Majalengka
dan penumpasan Raja Lamot yang berada di Panyindangan Desa Cieurih,
Onderdistrik Majalengka. Cieurih dimasukan ke Kecamatan Maja pada tahun 1963.






Selain fasilitas tersebut di atas, tangsi ini
juga
dilengkapi dengan gereja. Hingga kini
bangunan yang dulu digunakan
sebagai gereja itu masih ada.
Namun bentuk
bangunannya tidak mirip gereja
seperti pada umumnya.
Bentuknya hanya berupa rumah tua seperti rumah
tinggal biasa yang menurut pemiliknya dulu dibeli oleh kakeknya dari seorang pendeta berkebangsaan
Belanda. Rupanya di
tempat inilah dulu
yang dijadikan oleh marsose Belanda yang
beragama Nasrani untuk
beribadah. Sebenarnya
tidak
semua
marsose merupakan orang Belanda atau
Eropa.
Ada sebagian yang berasal dari Ambon, Flores, Madura dan
Jawa.
Dibangunnya bunker tersebut tadi,
meski tak ada keterangan yang menyebutkan tahunnya secara pasti, setidaknya ada dua asumsi terkait hal itu. Mungkin bunker itu
dibangun bersamaan dengan pembangunan
fasilitas tangsi
militer itu sebagai bunker
pertahanan dan pengawasan. Bahkan
tak
hanya berfungsi sebagai
pertahanan dan pengawasan saja,
bunker itu juga disinyalir menjadi
tempat tahanan
bagi
yang
dianggap membahayakan kedudukan pemerintah kolonial Belanda. Kemungkinan bunker itu
dibangun lebih awal, atau ketika masa Perang Dunia I bersamaan dengan pembangunan
benteng
pertahanan Gunung Koentji
Sumedang yang dibangun
pada tahun 1917.
Di dalam bunker
tersebut terdapat empat pintu goa, yang mana setiap goa memiliki ukuran yang
sama kurang lebih 5 X 5 meter dengan memiliki dinding dan lantai yang terbuat dari tembok, begitu pula bagian atas atau langit -
langitnya. Pintu bunker ini terbuat dari plat besi yang kokoh dan terdapat
celah untuk mengintai.



Setiap dua goa
di bagian tengah antara goa terdapat pintu penghubung yang
terbuat dari pelat besi dengan ukuran lebar sekitar 1,5 meter dan tinggi 2
meter. Goa satu dengan goa dua saling
berhubungan, dan kalau setelah masuk lurus dan mentok lalu belok masuk ke goa
berikutnya, sementara untuk goa tiga berhubungan dengan goa keempat dengan
bentuk bangunan yang sama persis seperti goa satu dan goa dua.
Salah satu bunker yang berada di bagian belakang markas (tangsi) Kodim ukurannya lebih
kecil dan bentuknya
mirip
dengan sel tahanan bawah
tanah (Gambar 5.). Sel tahanan ini
begitu menyeramkan.
Dari mulut bunker, jika kita
berjalan terus akan menemui lorong sempit berkelok dan sepertinya sengaja dibuat agak menurun supaya
air dapat tergenang untuk
menyiksa tahanan di
dalamnya.
Bunker kecil itu hanya memiliki satu
pintu
sehingga keadaan di dalamnya sangat sempit, pengap
dan tergenang air. Lorong di
dalamnya memiliki lebar
sekitar
satu
meter dengan tinggi
kurang dari
dua meter. Orang yang masuk ke dalamnya harus
berjongkok.
Ada
satu lubang di atas langit-langit lorong
yang berkelok ini, yang ukuran lubangnya juga kecil, hanya dapat masuk telapak tangan saja. Entah fungsi lubang itu untuk lubang angin atau
lubang cahaya, yang jelas
jika hujan, air masuk ke dalamnya dan
menggenangi
ruangan. Kondisi ruangan yang
tergenang air itu
membuatnya cukup berbahaya
karena
dapat saja ada ular, pecahan
kaca atau beling dan bahkan
dapat jadi masih ada sisa bom
yang
tertingal di dalamnya seperti yang pernah diungkapkan oleh Bapak Letkol Priyandi Komandan Kodim
saat itu.





Tidak ada komentar:
Posting Komentar