Sabtu, 08 September 2018

KERK’HOF

D
i setiap tempat atau kota di Indonesia yang pada masa penjajahan Belanda terdapat pemukim Belanda pasti ada Kerk’hof. Bahkan di pulau Onrust yang luasnya hanya 14 hektar pun Belanda menyediakan Kerk’hof tersendiri. Kerk’hof adalah bahasa Belanda untuk makam atau pekuburan. Luas atau besarnya Kerk’hof tentu disesuaikan dengan jumlah pemukim Belanda di tempat tersebut. Berdasarkan Tijdschrift van Nederlandsch Indie pemukim Belanda di Distrik Majalengka berjumlah 91 orang terdiri atas 38 orang laki-laki, 31 orang wanita, dan 22 orang anak-anak. Di distrik lain seperti Rajagaluh, Jatiwangi, Maja, dan Talaga tidak ada pemukim Belanda.
Pemakaman untuk pemukim Belanda yang tinggal di Kota Majalengka dan Kabupaten Majalengka terdapat di Kelurahan Cicurug Kecamatan Majalengka Kabupaten Majalengka. jaraknya sekitar 3 kilo meter dari Gedung Juang, gedung yang pada masa penjajahan menjadi kantor dan Kediaman Asisten Residen Majalengka.
Kerk’hof Cicurug berjarak sekitar 400 meter dari jalan  yang menghubungkan Kota Majalengka dengan Sindangkasih. Dari kejauhan dapat dilihat gerbangnya yang masih gagah menjulang. Pada gerbang yang ditopang delapan tiang bulat, masing-masing sisi terdiri atas empat tiang, sebesar tong anggur terdapat tulisan dengan huruf capital “MEMENTO MORI”. Memento Mori adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang berarti  Ingatlah untuk Mati. Kalimat ini adalah semboyan para Frater Trappa. Menurut Wikipedia, frater adalah anggota salah satu tarekat pengemis yang didirikan sejak abad ke-12 atau ke-13. Istilah ini membedakan sifat suka berkelana yang menjadi ciri khas tarekat pengemis. Dengan demikian, pekuburan ini diperuntukan bagi Belanda yang menganut Katolik. Ini sangat menarik karena sebagian besar orang Belanda adalah penganut Protestan.
Makam terdekat dengan gerbang terletak di sebelah kanan. Bentuknya berupa bangunan tanpa dinding ditopang empat tiang yang masih menampakkan sisa-sisa keindahannya. Di dalamnya terdapat pondasi tempat sebuah patung konon dipasang. Patung dewa khas ala Eropa yang biasa terdapat di area pemakaman juga dipasang di atap bangunan mungil tersebut. Sayang kini sudah tak ada satu pun patung yang dapat ditemukan akibat ulah tangan-tangan jahil yang tak menghargai sejarah.


Di komplek pemakaman Kerk’hof  Cicurug terdapat beberapa puluh makam. Jumlah persisnya sulit dipastikan karena kondisi makam yang tidak terawat. Banyak makam yang sudah hancur rata dengan tanah baik akibat proses pelapukan alami maupun akibat tangan-tangan jahil yang tidak bertanggungjawab. Ada beberapa makam dengan nama yang masih dapat dibaca diantaranya Jelehade, 1913. Tahun 1913 kemungkinan tahun kematian yang bersangkutan.
Sisa-sisa makam yang ada di Kerk’hof Cicurug sepertinya terbagi menjadi dua area pemakaman. Bagian selatan, sisa-sisa bangunannya memperlihatkan sisa-sisa makam yang jauh lebih mewah dan indah dibandingkan dengan sisa-sisa makam yang ada di bagian utara. Bagian sebelah selatan diperuntukan makam para pejabat dan orang kaya dari bangsa Belanda sedangkan makam di  sebelah utara tempat pemakaman bagi orang biasa. Makam  di bagian selatan bercirikan bangunan makamnya tinggi dan keterangan namanya yang ditulis di atas marmer. Sayang nilai marmer yang tinggi dan indah ini mendorong tangan-tangan jahil untuk mengambilnya sehingga kini marmer itu sudah tak bersisa lagi. Hal ini menyulitkan untuk mengetahui siapa saja yang dimakamkan di bagian selatan kompleks makam ini.
Sisa-sisa makam di sebelah utara masih meninggalkan jejak sejarah karena keterangan namanya masih ada beberapa yang dapat dibaca. Makam kalangan orang biasa ini bentuknya seperti makam kebanyakan dan keterangan namanya tidak ditulis di atas marmer sehingga tidak raib seperti di bagian makam bangsawan.
Pada  salah satu makam yang masih utuh, tertulis Rust J. Lonan. Geb (Gebo’ren, lahir) 17.7.29 Pandeglang dan Ovrl (Overle dene, wafat/meninggal) 29.7.31 Madjalengka. Dari nisan itu setidaknya kita dapat tahu bahwa yang beristirahat dengan tenang ( “rest”) di makam tersebut adalah J. Lonan. Lonan lahir di Pandeglang pada tanggal 17 Juli 1929 dan meninggal di Majalengka pada tanggal 29 Juli 1931. Lonan meninggal 12 hari setelah ulang tahunnya yang kedua.
Selain J. Lonan, di Kerk’hof Cicurug ternyata ada beberapa anak lain yang meninggal dikuburkan. Anak-anak lain yang dikuburkan adalah Johannes Sela. Seperti Lonan, Sela juga dilahirkan di Pandeglang, banten, pada 25 Oktober 1930 dan meninggal di Majalengka pada tanggal 26 Oktober 1938 atau tepat sehari setelah ulang tahunnya yang ke delapan. Usia anak-anak lainnya ketika meninggal berkisar antara usia 2, 10, dan 11 tahunan.  Banyaknya makam anak-anak ini menunjukkan tingkat kematian di kalangan anak-anak orang Eropa di Majalengka saat itu cukup tinggi mengingat jumlah orang Eropa saat itu berkisar ratusan orang saja (144 orang) dan 34 di antaranya adalah anak-anak.
Tahun 1920-an terjadi wabah penyakit pes di wilayah Majalengka dan sekitarnya. Masa itu bersamaan pula dengan peristiwa dipindahkannya marsose dari Banten dan Sukabumi ke Majalengka sehubungan dengan dibangunnya tangsi (“camp”) militer di Majalengka, dan tidak tertutup kemungkinan wabah penyakit pes dan dipindahkannya marsose Belanda dari Banten dan Sukabumi ada hubungannya dengan beberapa makam sinyo di Kerk’hof  Cicurug. Hal ini menandakan wabah penyakit pes mengakibatkan korban yang sangat banyak. Korbannya tak hanya dari rakyat Majalengka dari bangsa pribumi, tetapi juga banyak dari keluarga marsose.
Gambar mungkin berisi: tanaman dan luar ruangan


J. Lonan dan teman-temannya mungkin saja adalah anak-anak marsose Belanda yang pindah dari Banten dan Sukabumi kemudian tinggal di Tangsi Militer Tonjong. 

1 komentar:

  1. bagus sekali artikelnya sangat bermanfaat :).. cuma sayang banyak fotonya yanh udah gk bisa dibuka

    BalasHapus