D
|
i setiap tempat atau kota di
Indonesia yang pada masa penjajahan Belanda terdapat pemukim Belanda pasti ada
Kerk’hof. Bahkan di pulau Onrust yang luasnya hanya 14 hektar pun Belanda
menyediakan Kerk’hof tersendiri. Kerk’hof adalah bahasa Belanda untuk makam atau pekuburan.
Luas atau besarnya Kerk’hof tentu disesuaikan dengan jumlah pemukim Belanda di
tempat tersebut. Berdasarkan Tijdschrift
van Nederlandsch Indie pemukim Belanda di Distrik Majalengka berjumlah 91
orang terdiri atas 38 orang laki-laki, 31 orang wanita, dan 22 orang
anak-anak. Di distrik lain seperti Rajagaluh, Jatiwangi, Maja, dan Talaga tidak
ada pemukim Belanda.
Pemakaman untuk pemukim Belanda yang
tinggal di Kota Majalengka dan Kabupaten Majalengka terdapat di Kelurahan Cicurug Kecamatan Majalengka Kabupaten
Majalengka. jaraknya sekitar 3 kilo meter dari Gedung Juang, gedung yang pada
masa penjajahan menjadi kantor dan Kediaman Asisten Residen Majalengka.
Kerk’hof Cicurug
berjarak sekitar 400 meter dari jalan
yang menghubungkan Kota Majalengka dengan Sindangkasih. Dari kejauhan dapat dilihat gerbangnya yang masih gagah
menjulang. Pada gerbang yang ditopang delapan tiang bulat, masing-masing sisi
terdiri atas empat tiang, sebesar tong anggur terdapat tulisan dengan huruf
capital “MEMENTO MORI”. Memento Mori adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin
yang berarti “Ingatlah untuk Mati”. Kalimat ini adalah semboyan para Frater Trappa. Menurut
Wikipedia, frater adalah anggota salah satu tarekat pengemis yang didirikan sejak
abad ke-12 atau ke-13. Istilah ini membedakan sifat suka berkelana yang menjadi
ciri khas tarekat pengemis. Dengan demikian, pekuburan ini diperuntukan bagi
Belanda yang menganut Katolik. Ini sangat menarik karena sebagian besar orang
Belanda adalah penganut Protestan.
Makam terdekat dengan gerbang terletak di sebelah kanan.
Bentuknya berupa bangunan tanpa dinding ditopang empat tiang yang masih
menampakkan sisa-sisa keindahannya. Di
dalamnya terdapat pondasi tempat sebuah patung
konon dipasang. Patung dewa khas ala Eropa yang biasa terdapat di area
pemakaman juga dipasang di atap bangunan mungil tersebut. Sayang kini sudah tak
ada satu pun patung yang dapat ditemukan akibat ulah tangan-tangan jahil yang tak menghargai
sejarah.
Di komplek
pemakaman Kerk’hof Cicurug terdapat
beberapa puluh makam. Jumlah persisnya sulit dipastikan karena kondisi makam
yang tidak terawat. Banyak makam yang sudah hancur rata dengan tanah baik
akibat proses pelapukan alami maupun akibat tangan-tangan jahil yang tidak
bertanggungjawab. Ada beberapa makam dengan nama yang masih dapat dibaca
diantaranya Jelehade, 1913. Tahun 1913 kemungkinan tahun kematian yang
bersangkutan.
Sisa-sisa makam
yang ada di Kerk’hof Cicurug sepertinya terbagi menjadi dua area pemakaman. Bagian selatan,
sisa-sisa bangunannya memperlihatkan sisa-sisa makam yang jauh lebih mewah dan indah
dibandingkan dengan sisa-sisa makam yang ada di bagian utara. Bagian sebelah
selatan diperuntukan makam para pejabat dan orang kaya dari bangsa Belanda
sedangkan makam di sebelah utara tempat
pemakaman bagi orang biasa. Makam di
bagian selatan bercirikan bangunan makamnya tinggi dan keterangan namanya yang
ditulis di atas marmer. Sayang nilai marmer yang tinggi dan indah ini mendorong
tangan-tangan jahil untuk mengambilnya sehingga kini marmer itu sudah tak
bersisa lagi. Hal ini menyulitkan untuk mengetahui siapa saja yang dimakamkan
di bagian selatan kompleks makam ini.
Sisa-sisa makam
di sebelah utara masih meninggalkan jejak sejarah karena keterangan namanya
masih ada beberapa yang dapat dibaca. Makam kalangan orang biasa ini bentuknya
seperti makam kebanyakan dan keterangan namanya tidak ditulis di atas marmer
sehingga tidak raib seperti di bagian makam bangsawan.
Pada salah satu makam yang masih utuh, tertulis
Rust J. Lonan. Geb (Gebo’ren, lahir) 17.7.29 Pandeglang dan Ovrl (Overle dene,
wafat/meninggal) 29.7.31 Madjalengka. Dari nisan itu setidaknya kita dapat tahu bahwa yang beristirahat dengan
tenang ( “rest”) di makam tersebut adalah J. Lonan. Lonan lahir di
Pandeglang pada tanggal 17 Juli 1929 dan meninggal di Majalengka pada tanggal
29 Juli 1931. Lonan meninggal 12 hari setelah ulang tahunnya yang kedua.
Selain J. Lonan,
di Kerk’hof Cicurug ternyata ada beberapa anak lain yang meninggal dikuburkan.
Anak-anak lain yang dikuburkan adalah Johannes Sela. Seperti Lonan, Sela juga
dilahirkan di Pandeglang, banten, pada 25 Oktober 1930 dan meninggal di
Majalengka pada tanggal 26 Oktober 1938 atau tepat sehari setelah ulang
tahunnya yang ke delapan. Usia anak-anak lainnya ketika meninggal berkisar
antara usia 2, 10, dan 11 tahunan.
Banyaknya makam anak-anak ini menunjukkan tingkat kematian di kalangan
anak-anak orang Eropa di Majalengka saat itu cukup tinggi mengingat jumlah
orang Eropa saat itu berkisar ratusan orang saja (144 orang) dan 34 di antaranya adalah anak-anak.
Tahun 1920-an terjadi wabah penyakit pes di wilayah
Majalengka dan sekitarnya. Masa itu bersamaan pula dengan peristiwa dipindahkannya marsose dari Banten dan
Sukabumi ke Majalengka sehubungan dengan dibangunnya tangsi (“camp”) militer di Majalengka,
dan tidak tertutup kemungkinan wabah penyakit pes
dan dipindahkannya marsose Belanda dari Banten dan Sukabumi ada hubungannya
dengan beberapa makam sinyo di Kerk’hof Cicurug. Hal ini menandakan wabah penyakit pes
mengakibatkan korban yang sangat banyak. Korbannya tak hanya dari rakyat Majalengka dari bangsa pribumi,
tetapi juga banyak dari keluarga marsose.
J. Lonan dan
teman-temannya mungkin saja adalah anak-anak marsose Belanda yang pindah dari Banten dan Sukabumi kemudian tinggal di Tangsi Militer Tonjong.
bagus sekali artikelnya sangat bermanfaat :).. cuma sayang banyak fotonya yanh udah gk bisa dibuka
BalasHapus